Kamis, 10 November 2011

Hukum Menetek pada Istri, Bolehkah? Konsekwensinya?

Salamualaykum. Saya dari madura gus, mau tanya apa hukumnya suami yang Menetek pada Istrinya ketika berhubungan, Bolehkah? dan bagaimana Konsekwensinya? Terimakasih dan MOhon maaf apabila pertanyaan ini tidak berkenan...

Walekum salam. Pertanyaan anda tidak salah, La Haya’a Fid Diin…

Perbuatan tersebut tidaklah tercela, tidak berdosa dan tidak perlu melakukan kafarat atas perbuatannya tersebut. Karena hal itu merupakan salah satu bentuk istimta' (Menikmati) yang diperbolehkan dalam agama. Dalam Al-Qur'an Alloh SWT berfirman:
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلَاقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
Isteri-isterimu adalah tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman. "(QS. Al-Baqoroh 223)

Sedangkan bila air susunya tertelan, itu pun tidak menjadi permasalahan dan tidak mengakibatkan terjadinya kemahraman karena susuannya itu karena syarat penyusuan yang bisa berdampak pada kemahraman seseorang dengan saudara susuannya adalah batasan usia yang menyusu kurang dari masa waktu dua tahun. Sebagaimana hadith dari Ibni Abbas ra. Berkata, Penyusuan itu tidak berlaku kecuali dalam usia dua tahun (HR. Ad-Daruquthuny).

Masalah ini pernah terjadi pada zaman shahabat, di mana ada seorang laki-laki yang mengadu kepada shahabat Abu Musa Al-Asy’ari bahwa pada malam hari ia telah meminum air susu istrinya sendiri alias menetek pada istrinya. Lalu kemudian Abu Musa Al-Asy’ari memberi fatwa bahwa ia dan istrinya telah haram atau telah menjadi mahram karena sudah menjadi ibu susunya.
Maka dalam kasus ini Abu Musa Al-Asy’ari berpendapat bahwa suami tersebut telah tercerai dengan endirinya karena ia telah meminum air susu istrinya sendiri. Namun Abu Musa Al-Asy’ari menyuruh lelaki tersebut untuk bertanya kepada Ibnu Mas’ud karena dia dikenal lebih faqih. Lalu lelaki tersebut bertanya hal yang sama kepada Ibnu Mas’ud. Ibnu Mas’ud malah balik bertanya kepada Abu Musa Al-Asy’ari, “Apa ini -lelaki tersebut- (disebut) seorang anak yang menyusu?” Pertanyaan ini bermakna pengingkaran dari Ibnu Mas’ud, bahwa yang disebut “radhii’” atau yang menyusu (secara bahasa) adalah anak-anak yang masih bergantung kepada air susu dan bukan seorang pria dewasa. Di sini Ibnu Mas’ud berpendapat bahwa seorang suami yang menetek kepada istrinya tidaklah termasuk dalam hukum ibu susu seperti yang dikenal dalam Islam, di mana seorang anak yang menyusu kepada perempuan (yang bukan ibunya), maka perempuan itu menjadi ibu susunya dan menjadi mahramnya sekaligus menetapkan bahwa seluruh anak dari perempuan tersebut menjadi saudaranya sesusu dan menjadi mahram.
Pendapat Ibnu Mas’ud ini juga didukung hadits-hadits Nabi yang menyatakan bahwa hukum sesusuan itu berlaku jika susu yang diminum adalah yang menumbuhkan daging -yang hal ini hanya terjadi pada balita- dan bukan pada pria dewasa yang dagingnya tidak tumbuh lagi. Kesimpulannya, seorang suami yang meminum air susu istrinya tidaklah menjadi mahramnya dan tidak tercerai.

1 komentar:

UCOKMONALISA mengatakan...

Terima kasih Pak Gus atas ilmi nya
salam