Maha Suci Allah Yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu (sebagian) malam dari Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat". (QS. Al Isra: 1)
Ayat tersebut di atas, dibuka dengan ''tasbih'' (Subhaana/Maha Suci Allah), yakni suatu etos reformatif -- yang menurut kitab Durratun Nasihin karya Usman bin Hasan bin Ahmad Syakir al-Khaubawi -- menyimpan hikmah; Pertama, bahwa kebiasaan bangsa Arab bertasbih di saat menjumpai hal-hal yang menakjubkan, maka lewat firman-Nya itu seolah-olah Allah kagum dengan rasul-Nya yang sempurna kemanusiaannya (al-insan al-kamil) sehingga di perjalankan-Nya secara menakjubkan. Kedua, dengan bertasbih, Allah bermaksud menepis sinisme masyarakat Arab yang menganggap rasul-Nya telah berdusta, sehingga redaksi ayat tersebut berbunyi, ''Maha Suci Allah yang telah mem perjalankan hamba-Nya....''
Pada banyak ayat di dalam Kitab Suci Alquran, dibuka atau diawali dengan ''tasbih'', baru kemudian ''tahmid'' (pujian bagi Allah). Ini dapat kita lihat misalnya; pada surat Thoha: 130, Qaf: 39, Ath-Thur:48, Al-Furqan: 58. Juga perhatikan bacaan berikut, sebuah bacaan yang disebut sebagian ulama sebagai ''kalbunya Asmaul Husna'' (al-qalbu li al-asmaa al-husnaa), ataupun al-baqiyat al-sholihaat yaitu: Subhaa-nallaahi wal-hamdu lillaahi wa-laailaaha illallaahu wallaahu akbar (Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, tiada Tuhan melainkan Allah, dan Allah lah Yang Maha Agung).
Dalam bacaan tersebut, ''tasbih'' mendahului ''tahmid''; tasbih merupa-kan pembersihan, sedang sedang tahmid adalah pemujian/penghiasan. Maka elan dan etos pembersihan mesti harus didahulukan ketimbang peng hiasan. Ajaran ini sinkron dengan prinsip/kaidah fiqh yang mengatakan, bahwa: ''Mendahulukan upaya meng hindar dari bahaya lebih diutamakan daripada melaksanakan kemaslahatan'' (Dar al-mafasid muqaddam 'ala jalb al-mashalih) dan dalam term sufi takholli lebih dahulu dilakukan daripada tahaali.
Peristiwa isra’ mi’roj tersebut meru-pakan tantangan terbesar sesudah Al-Quran yang disodorkan oleh Allah kepada umat manusia. Peristiwa ini membuktikan bahwa 'ilmu dan qudrat Allah meliputi dan menjangkau, bahkan mengatasi, segala yang finite (terbatas) dan infinite (tak terbatas) tanpa terbatas waktu atau ruang.
Kaum empirisis-rasionalis, yang - melepaskan diri dari bimbingan wahyu, dapat saja menggugat: Bagaimana mungkin kecepatan, yang bahkan melebihi kecepatan cahaya, kecepatan yang merupakan batas kecepatan tertinggi dalam continuum empat dimensi ini, dapat terjadi? Bagaimana mungkin lingkungan material yang dilalui oleh Muhammad saw. tidak mengakibatkan gesekan-gesekan panas yang merusak tubuh beliau sendiri? Bagaimana mungkin beliau dapat melepaskan diri dari daya tarik bumi? Ini tidak mungkin terjadi, karena ia tidak sesuai dengan hukum-hukum alam, tidak dapat dijangkau oleh pancaindera, bahkan tidak dapat dibuktikan oleh patokan-patokan logika. Demikian kira-kira kilah mereka yang menolak peristiwa ini.
Padahal di sisi lain, mereka juga mengetahui bahwa teori Black Holes menyatakan bahwa "pengetahuan manusia tentang alam hanyalah sekitar 3% saja, sedangkan 97% berada di luar kemampuannya", maka apakah rasional, akal yang begitu naïf itu mampu mempertanyakan "ke Maha luar biasa-an" Allah SWT? . Saya justeru khawatir, jikalau banyak umat Islam mengikuti jalan kaum empiris - rasionalis yang rela menghinakan "nurani" dan "qalbu"nya dalam memahami wahyu Ilahi secara proporsional, menjadi "murtad" tanpa sadar jika mengingkari berbagai kejadian "luar biasa" yang terjadi dalam peristiwa Isra' Mi'raj.
Maka, pendekatan yang paling tepat untuk memahaminya adalah pendekatan imaniy. Inilah yang ditempuh oleh Abu Bakar As-Shiddiq, seperti terlukis dalam ucapannya: "Apabila Muhammad yang memberitakannya, pasti benarlah adanya.dan sungguh aku akan mempercayainya bahkan terhadap hal yang lebih besar dari peristiwa itu (isra’ mi’roj)". Dari peristiwa inilah kemudian beliau deberi gelar as-shiddiq yang artinya adalah orang yang mempercayai dengan sungguh-sungguh. Wallahu A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar