Barometer (ukuran) keberhasilan suatu ibadah adalah sejauh mana ibadah itu memberi pengaruh positif pada amal keseharian orang yang mengerjakan, baik hubungan vertikalnya dengan Sang Pencipta (habl min Allah) atau hubungan horizontal dengan lingkungannya (habl min an-nas). Barometer ini berlaku pada semua jenis ibadah, termasuk haji.
Seorang muslim sejati tidak akan melengahkan kedua sisi tadi. Sebab Islam tidak mengenal dikotomi antara kesalehan ritual (habl min Allah) dan kesalehan sosial(habl min an-nas). Sungguh keliru, bila ada orang ngotot dalam kegiatan sosial tapi hubungan vertikal dengan Penciptanya “Nol”. Dan sama juga bohong orang yang ngotot berdzikir, namun sama sekali acuh taka acuh pada lingkungannya.
Walaupun barometer keberhasilan suatu ibadah itu sama, namun khusus ibadah haji ada nilai plusnya. Di samping sebagai ibadah, haji punya kelas dan nilai tersendiri. Dalam konteks lokal keindonesiaan ibadah haji cukup istimewa. Jika orang habis melaksanakan ibadah shalat, dia tidak akan dipanggil "Pak Shalat". Beda dengan ibadah haji, sepulang dari Tanah Suci Mekah, dia akan dipanggil, "Pak Haji" atau dalam tradisi Madura, "Kak Tuan", sebuah panggilan yang terhormat dan membanggakan.
Jika sebelum punya gelar haji, posisinya tidak begitu diperhitungkan, maka setelah haji statusnya akan naik tajam. Ia pun akan menjadi sorotan orang di sekelilingnya. Sering kita dengar ucapan sinis, "Fulan itukan sudah haji, mengapa kelakuannya begitu. Pasti hajinya mardud". Dalam kasus serupa jarang kita dengar, "Pasti shalatnya mardud". Padahal, jaminan Allah terhadap shalat yang sukses sangat tegas, tanha an al-fahsya' wa al-munkar.
Disengaja atau tidak, dan entah siapa yang memulai, gelar haji telah diformalkan layaknya gelar-gelar akademis. Seperti Insinyur, dokter, doktor dll. Seorang yang berhaji akan selalu memasang gelar “H” di depan namanya sepulang dari tanah suci.
Begitu berhargakah titel “H” itu? Sebagian orang yang sudah melaksanakan haji akan marah dan tersinggung bila ia tidak dipanggil “pak haji” atau “bu haji”. Perasaannya menganggap orang itu tidak menghormatinya. Ada guyonan, jadi kiai bila tidak ada "H" di depan namanya, maka kurang serem, atau paling-paling hanya kelas kiai kampungan.
Jika simbol cocok dengan substansi, maka tak ada masalah. Bila ternyata tidak, maka ucapan, "dasar haji mardud", spontan akan diumpatkan pada seorang haji yang dianggap “offside”. Di saat gelar haji telah diformalkan, lalu disakralkan, maka ada kekawatiran yang tidak berlebihan: ada orang yang dengan sengaja mengambil keuntungan dari nilai plus haji ini. Meskipun demikian halnya, kita tetap harus ber-husnuzzhan. Ada kata-kata bijak, lebih baik husnuzzhan walaupun keliru, daripada su'udzzhan walau kenyataannya benar. Bahwa, fenomena antusiasme masyarakat untuk beribadah haji, adalah gejala atau tanda kesadaran umat beragama untuk melaksanakan ajaran agama.
Kita setuju bahwa dalam beberapa hal ada persepsi yang perlu diluruskan. Namun, seperti kata al-Ghazali, bila ada orang melaksanakan shalat atau zakat dengan riya', maka yang harus dihilangkan adalah sifat riya'-nya bukan shalat atau zakatnya. Ibarat pohon mangga yang berbenalu, adalah fatal jika untuk menghilangkan benalu itu, pohon mangganya ditebang sekalian.
Ibadah haji dipenuhi dengan ritual-ritual penuh hikmah mendalam. Walaupun kadang terlihat tidak rasional. Di sini, sengaja Allah mewajibkan ritual-ritual yang secara dhahir tidak masuk akal dan seperti main-main. Apa sih faedahnya berlari-lari kecil mengelilingi Ka'bah? Juga apa gunanya melempar-lempar batu. Ini semua Allah wajibkan untuk membuktikan totalitas tunduk patuhnya terhadap ajaran agama. Sebab ukuran rasional syariat agama, bukanlah otak manusia yang sangat terbatas. Ad-din bi an-nuqul la bi al-uqul, kata al-Ghazali.
Pada hari-hari ke belakang ini, rombongan haji mulai berdatangan kembali ke kampung halaman masing-masing. Beribu perasaan, antara gembira akan bertemu keluarga dan haru karena meninggalkan Mekah, berbaur menjadi satu. Syukur, jika di antara perasaan menyeruak setitik tekad untuk malu mengulangi kemaksiatan yang dulu ditekuninya. Dan jika dipikir, setelah melempar jumrah, yang itu adalah simbol permusuhan abadinya dengan syetan, maka lucu ketika selesai membalang, lalu berkumpul dan berteman lagi dengan syetan. Setelah berwukuf di Padang Arafah, yang itu adalah gambaran umat Islam yang wahdah dan setara, maka agak aneh bila sekembali dari tanah suci, ia acuh dan merasa lebih hebat dari orang lain.
Maka para hujjaj diharapkan mampu mentransformasikan pengalaman religiusnya kepada orang lain tidak hanya dalam cerita yang verbal, tapi lebih pada bentuk yang kongkrit. Dengan nilai plus yang otomatis ia miliki setelah melaksanakan haji, peluang untuk berperan itu lebih terbuka. Sorotan pertama yang ditujukan kepada hujjaj adalah kepekaan rasa sosialnya. Bila sebelum ke tanah suci ia acuh dan sering masa bodoh terhadap penderitaan orang lain, dan sekembali dari tanah suci sifat itu tetap melekat, maka kita patut mencurigai kesuksesan hajinya. Bukankah dalam ritual haji ada nahr al-hadyi yang merupakan latihan menghilangkan sifat kekikiran. Bila untuk pembiyaan haji yang begitu besar ia tidak berat mengeluarkan uangnya, mengapa untuk membantu korban musibah banjir ia berat tangan. Memang Sungguh besar tuntutan tanggungjawab menyandang titel “H”, akan tetapi ini sesuai jaminan Allah kepada mereka yang tak kalah besar dan tidak main-main, laisa lahu jaza' illa al-jannah. Wallahu A'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar