Senin, 22 Oktober 2012

Kurban Ditengah Keterbatasan

Mengapa Kita merasa Berat Menyisih kan sebagian Harta Untuk Kebaikan? Bisikan dalam Hati , Saya kan masih kekurangan…saya kan masih butuh ini…butuh itu…Tak terasa umur semakin berkurang dengan cepatnya, akhirnya kita tidak sempat lagi menabung untuk akhirat.
    Berikut ada sebuah e-mail yang masuk ke inbox redaksi bulletin Al-Murtadlo yang berasal dari seorang pengurus bank, mudah-mudahan menjadi penggugah hati untuk kita semua…
    Ini kisah tentang Yu Timah. Siapakah dia? Yu Timah adalah tetangga kami. Dia salah seorang penerima program Subsidi Lang-sung Tunai (SLT) yang kini sudah berakhir. Yu Timah adalah penerima SLT yang sebenarnya. Maka rumahnya berlantai tanah, berdinding anyaman bambu, tak punya sumur sendiri. Bahkan status tanah yang di tempati gubuk Yu Timah adalah bukan milik sendiri. Usia Yu Timah sekitar lima puluhan, berbadan kurus dan tidak menikah. Barangkali karena kondisi tubuhnya yang kurus, sangat miskin, ditambah yatim sejak kecil, maka Yu Timah tidak menarik lelaki manapun.
Jadilah Yu Timah perawan tua hingga kini. Dia sebatang kara.
    Dulu setelah remaja Yu Timah be-kerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta. Namun, seiring usianya yang terus mening kat, tenaga Yu Timah tidak laku di pasaran pembantu rumah tangga. Dia kembali ke kampung kami. Para tetangga bergotong royong membuatkan gubuk buat YuTimah bersama emaknya yang sudah sangat renta. Gubuk itu didirikan di atas tanah tetangga yang bersedia menampung anak dan emak yang sangat miskin itu.
    Meski hidupnya sangat miskin, Yu Timah ingin mandiri. Maka ia berjualan nasi bungkus. Pembeli tetapnya adalah para santri yang sedang mondok di pesantren kampung kami. Tentu hasilnya tak seberapa. Tapi Yu Timah bertahan. Dan nyata nya dia bisa hidup bertahun-tahun bersama emaknya.
    Setelah emaknya meninggal Yu Timah mengasuh seorang kemenakan. Dia biayai anak itu hingga tamat SD. Tapi ini zaman apa. Anak itu harus cari makan. Maka dia tersedot arus perdagangan pembantu rumah tangga dan lagi-lagi terdampar di Jakarta .
Sudah empat tahun terakhir ini Yu Timah kembali hidup sebatang kara dan mencukupi kebutuhan hidupnya dengan berjualan nasi bungkus. Untung di kampung kami ada pesan-tren kecil. Para santrinya adalah anak-anak petani yang biasa makan nasi seperti yang dijual Yu Timah.
    Kemarin Yu Timah datang ke rumah saya. Saya sudah mengira pasti dia mau bicara soal tabungan. Inilah hebatnya. Se miskin itu Yu Timah masih bisa menabung di bank perkreditan rakyat syariah di mana saya ikut jadi pengurus. Tapi Yu Timah tidak pernah mau datang ke kantor. Katanya, malu sebab dia orang miskin dan buta huruf. Dia menabung Rp 5.000 atau Rp 10 ribu setiap bulan. Namun setelah menjadi penerima SLT Yu Timah bisa setor tabungan hingga Rp 250 ribu. Dan sejak itu saya melihat Yu Timah memakai cincin emas. Yah, emas. Untuk orang seperti Yu Timah, setitik emas di jari adalah persoalan mengang kat harga diri. Saldo terakhir Yu Timah adalah Rp 650 ribu.
    Yu Timah biasa duduk menjauh bila berhadapan dengan saya. Malah maunya bersimpuh di lantai, namun selalu saya cegah. ''Pak, saya mau mengambil tabungan,'' kata Yu Timah dengan suaranya yang kecil.
    ''Mau ambil berapa?'' tanya saya. ''Enam ratus ribu, Pak.'' ''Kok banyak sekali. Untuk apa, Yu?'' ''Saya mau beli kambing kurban, Pak". "Tapi Yu,sebe-narnya kamu tidak wajib berkurban…  
Yu Timah bahkan seharusnya meneri-ma kurban dari sau-dara-saudara kita yang lebih berada. Jadi, apakah niat Yu Timah benar-benar sudah bulat hendak membeli kambing kurban?''
    ''Iya Pak. Saya sudah bulat. Saya benar-benar ingin berkurban. Selama Ini memang saya hanya jadi penerima. Namun sekarang saya ingin jadi pem beri daging kurban.''
Setelah Yu Timah pergi, saya termangu sendiri. "Kapankah Yu Timah mende-ngar, mengerti, menghayati, lalu meng internalisasi ajaran kurban? Mengapa orang yang sangat awam itu bisa punya keikhlasan demikian tinggi sehingga rela mengurbankan hampir seluruh hartanya?" Pertanyaan ini muncul karena umumnya ibadah haji yang biayanya mahal saja umumnya tidak mengubah watak orangnya. Mungkin saya juga begitu.
    Ah, Yu Timah, saya jadi malu. Kamu yang belum naik haji, atau tidak akan
pernah naik haji, namun kamu sudah jadi orang yang suka berkurban. Kamu
sangat miskin, tapi uangmu tidak kaubelikan makanan, televisi, atau
pakaian yang bagus. Uangmu malah kamu belikan kambing kurban. Ya, Yu
Timah. Meski saya dilarang dokter makan daging kambing, tapi kali ini
akan saya langgar. Saya ingin menikmati daging kambingmu yang sepertinya sudah berbau surga. Mudah-mudahan kamu mabrur sebelum kamu naik haji.  n Wallahu A'lam 

Tidak ada komentar: